Sumatra, Carbon stock, Palm oil, APP, APRIL, CSO, gambut, HTI, hutan, KAMH, koalisi anti mafia hutan, Land, landswap, mineral, perlindungan, pulp, swap,
Langkah tegas Pemerintah Indonesia untuk melindungi dan memulihkan lahan gambut patut didukung, termasuk di antaranya kebijakan pelarangan pembukaan atau eksploitasi lahan gambut oleh perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Setidaknya 16% atau setara dengan 2,1 juta hektar dari 12,9 juta hektar total luasan, telah ditetapkan pemerintah sebagai daerah prioritas restorasi gambut.
Meski demikian, kelompok masyarakat sipil (civil society organisations – CSO) yang turut menyampaikan pernyataan ini mengkhawatirkan kebijakan “land swap” pemerintah, yakni kebijakan pemberian konsesi di tanah mineral sebagai kompensasi terhadap lahan-lahan perusahaan kehutanan yang terkena dampak kebijakan perlindungan dan pemulihan lahan gambut. Kekhawatiran ini muncul karena kebijakan land swap tersebut akan mengancam hutan alam yang tersisa, dan juga berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat adat/lokal di tanah mineral tersebut.
Kebijakan land swap diatur melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 40 Tahun 2017 yang diterbitkan pada Juli 2017 (selanjutnya disebut P.40/2017), dan saat ini pemerintah sedang memproses persetujuan terhadap setidaknya 921.230 hektar sebagai area land swap. Namun demikian, penentuan area tersebut tidak transparan, dan juga tidak membuka ruang partisipasi publik.
Atas nama perlindungan gambut, proses yang tidak transparan dan akuntabel tersebut sangat membahayakan bagi hutan-hutan alam tersisa, seperti di Kalimantan, Sumatera, dan Papua, karena bisa saja ditetapkan sebagai area land swap untuk kemudian dikonversi menjadi konsesi HTI. Meski di beberapa tempat area tersebut sudah tidak kompak (fragmented) atau bahkan berupa belukar muda, tetapi tutupan hutan seperti itu tetap saja berfungsi penting sebagai ekosistem yang memiliki cadangan karbon yang menjaga perubahan iklim dan habitat keragaman hayati. Kebijakan terbut juga akan mengancam sumber-sumber kehidupan dan sosial masyarakat adat/lokal yang selama bertahun-tahun tergantung pada hutan di daerah tersebut.
Kebijakan land swap tidak memberikan kepastian waktu dan bentuk pemulihan lahan gambut yang ditinggalkan. Seharusnya kebijakan tersebut mewajibkan perusahaan untuk terlebih dahulu melakukan pemulihan lahan gambut dan hasilnya sudah disetujui pemerintah sebagai sebagai syarat bagi perusahaan yang akan mengajukan land swap. Tanpa syarat itu, maka areal yang ditinggalkan berpotensi menjadi area yang rentan bencana kebakaran.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, CSOs dengan ini mengusulkan agar area yang di land swap hanyalah berdasaran hutan tanaman saat ini (existing plantation only), dan bukan berdasarkan luas izinnya. Serta bukan merupakan hutan alam atau hutan yang dikelola masyarakat lokal. Dengan mengikuti 3 (tiga) kriteria di bawah ini:
Sejalan dengan itu, CSOs merekomendasikan Pemerintah Indonesia agar:
Kontak:
Syahrul Fitra (Auriga) : syahrul@auriga.or.id
Andi Muttaqien (Elsam) : andi@elsam.or.id
Reza Lubis (Wetland) : rezalubis@wetlands.or.id
Aidil Fitri (HaKi) : aidilplg@gmail.com