Kebijakan Land Swap: Setengah Hati Perlindungan Gambut dan Hutan Alam Indonesia

EoF Press Release / 07 April 2018
An industrial timber plantation company drains peat canal and drives the area inflammable

Langkah tegas Pemerintah Indonesia untuk melindungi dan memulihkan lahan gambut patut didukung, termasuk di antaranya kebijakan pelarangan pembukaan atau eksploitasi lahan gambut oleh perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Setidaknya 16% atau setara dengan 2,1 juta hektar dari 12,9 juta hektar total luasan, telah ditetapkan pemerintah sebagai daerah prioritas restorasi gambut.

Meski demikian, kelompok masyarakat sipil (civil society organisations – CSO) yang turut menyampaikan pernyataan ini mengkhawatirkan kebijakan “land swap” pemerintah, yakni kebijakan pemberian konsesi di tanah mineral sebagai kompensasi terhadap lahan-lahan perusahaan kehutanan yang terkena dampak kebijakan perlindungan dan pemulihan lahan gambut. Kekhawatiran ini muncul karena kebijakan land swap tersebut akan mengancam hutan alam yang tersisa, dan juga berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat adat/lokal di tanah mineral tersebut.

Kebijakan land swap diatur melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 40 Tahun 2017 yang diterbitkan pada Juli 2017 (selanjutnya disebut P.40/2017), dan saat ini pemerintah sedang memproses persetujuan terhadap setidaknya 921.230 hektar sebagai area land swap. Namun demikian, penentuan area tersebut tidak transparan, dan juga tidak membuka ruang partisipasi publik.

Atas nama perlindungan gambut, proses yang tidak transparan dan akuntabel tersebut sangat membahayakan bagi hutan-hutan alam tersisa, seperti di Kalimantan, Sumatera, dan Papua, karena bisa saja ditetapkan sebagai area land swap untuk kemudian dikonversi menjadi konsesi HTI. Meski di beberapa tempat area tersebut sudah tidak kompak (fragmented) atau bahkan berupa belukar muda, tetapi tutupan hutan seperti itu tetap saja berfungsi penting sebagai ekosistem yang memiliki cadangan karbon yang menjaga perubahan iklim dan habitat keragaman hayati. Kebijakan terbut juga akan mengancam sumber-sumber kehidupan dan sosial masyarakat adat/lokal yang selama bertahun-tahun tergantung pada hutan di daerah tersebut.

Kebijakan land swap tidak memberikan kepastian waktu dan bentuk pemulihan lahan gambut yang ditinggalkan. Seharusnya kebijakan tersebut mewajibkan perusahaan untuk terlebih dahulu melakukan pemulihan lahan gambut dan hasilnya sudah disetujui pemerintah sebagai sebagai syarat bagi perusahaan yang akan mengajukan land swap. Tanpa syarat itu, maka areal yang ditinggalkan berpotensi menjadi area yang rentan bencana kebakaran.  

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, CSOs dengan ini mengusulkan agar area yang di land swap hanyalah berdasaran hutan tanaman saat ini (existing plantation only), dan bukan berdasarkan luas izinnya. Serta bukan merupakan hutan alam atau hutan yang dikelola masyarakat lokal. Dengan mengikuti 3 (tiga) kriteria di bawah ini:

  1. Memprioritaskan area kawasan hutan negara berizin pada tanah mineral yang selama ini tidak dioperasikan (izin tidur);
  2. Bukan merupakan hutan alam, termasuk hutan alam yang terdegradasi;
  3. Bukan merupakan wilayah kelola masyarakat adat/lokal baik yang sudah dikelola maupun area pencadangan.

Sejalan dengan itu, CSOs merekomendasikan Pemerintah Indonesia agar:

  1. Mempublikasi hasil revisi RKU dan RKT perusahaan HTI yang terkena kewajiban pemulihan lahan gambut, terutama yang lahannya terbakar sepanjang 2015-2018. Dan juga nama-nama perusahaan yang telah mengajukan revisi RKU dan RKT serta yang tidak bersedia merevisi RKU dan RKT;
  2. Mempublikasikan rencana pemulihan ekosistem gambut yang telah diajukan oleh perusahaan pemegang izin IUPHHK dan telah disetujui oleh KLHK;
  3. Mengidentifikasi area-area sebagaimana 3 kriteria di atas untuk diseleksi sebagai area potensial land swap, dan hanya menunjuk area yang bebas-masalah dan bebas-konflik (clear and clean) dari daftar potensial tersebut yang diperuntukkan sebagai area land swap.
  4. Pemberian izin pada area land swap tersebut, dilaksanakan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik;
  5. Memperbaiki kebijakan land swap dengan memastikan bahwa perusahaan yang telah mendapatkan area baru, tetap bertanggung jawab untuk melakukan pemulihan pada area gambut yang ditinggalkannya.

 

 

Kontak:

Syahrul Fitra (Auriga)     : syahrul@auriga.or.id

Andi Muttaqien (Elsam) : andi@elsam.or.id

Reza Lubis (Wetland)      : rezalubis@wetlands.or.id

Aidil Fitri (HaKi)               : aidilplg@gmail.com