Sumatra, Carbon stock, Biodiversity loss, Pulp & paper, APP, Asia Pulp & Paper, bongku, commitment, FCP, FPIC, social conflict, WKS,
Perselisihan tentang tanah atau batas adat, penggusuran, pelemahan mata pencaharian masyarakat ataupun tindakan kekerasan terhadap petani merupakan konflik sosal di konsesi perusahaan HTI yang hingga saat ini belum menemukan titik akhir.
Penelitian yang dilakukan oleh koalisi NGO dan Environmental Paper Network pada 2019 menemukan bahwa Asia Pulp & Paper (APP) terlibat dalam ratusan konflik dengan masyarakat di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Tercatat bahwa di lima provinsi di Indonesia (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur), setidaknya 107 desa atau komunitas terlibat dalam konflik aktif dengan afiliasi APP atau pemasoknya, dan 544 desa diidentifikasi sebagai lokasi konflik potensial, yang mencakup area lebih dari 2,5 juta hektar.
10 Juni 2020 lalu, Bongku bin Jelodan dinyatakan bebas setelah menjalani hukuman kurang lebih tujuh bulan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) kelas II, Kabupaten Bengkalis. Petani yang merupakan warga suku Sakai ini ditahan setelah dilaporkan oleh sekuriti PT Arara Abadi. Ia dilaporkan karena menebang pohon untuk menanam ubi seluas setengah hektar yang dianggap berada di konsesi lahan PT Arara Abadi, anak perusahaan APP. Majelis hakim saat itu menjatuhi hukuman penjara selama setahun dan denda 200 juta rupiah. Hanya bersandar pada bukti dua pohon eukaliptus bekas ditebang, hakim menilai Bongku terbukti menebang hutan tanpa memiliki izin dari pihak berwenang dan melanggar UU P3H No.18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Made Ali, Koordinator Jikalahari, menilai kasus Bongku masih menyisakan konflik tenurial. “Pengakuan terhadap wilayah masyarakat adat di provinsi Riau tidak jelas, ini menjadi potensi kriminalisasi terhadap mereka saat mengelola ladang untuk bertahan hidup,” ungkapnya di situs Jikalahari, pada 17 Juni 2020.
PT Arara Abadi beroperasi di Bengkalis sejak akhir 1990-an. Gejolak antara suku Sakai dan PT Arara Abadi memanas pada awal 2000-an, dimana kala itu, PT Arara dan suku Sakai bersepakat menetapkan 7.158 hektar kawasan hutan di sekitar Bengkalis sebagai tanah ulayat. Namun dilansir dari Mongabay Indonesia (Mei 2020), PT Arara Abadi menyatakan bahwa timnya telah mengecek ke lapangan soal klaim tanah ulayat oleh suku Sakai seluas 7.158 hektar tersebut. Ia mengungkapkan bahwa masyarakat Sakai tak pernah menguasai lahan tersebut. Namun masyarakat suku Sakai terus berjuang mempertahankan tanah adatnya dan memperoleh kembali hak mereka meskipun PT Arara Abadi terus melakukan penanaman akasia dan eukaliptus di lahan tersebut.
PT WKS vs Petani
Tidak hanya PT Arara Abadi, anak perusahaan APP yang berlokasi di Jambi yakni PT Wira Karya Sakti (PT WKS), belum lama ini kembali menjadi sorotan. Tanggal 4 Maret 2020, PT WKS diduga telah menabur herbisida ke ladang dan kebun masyarakat di Desa Lubuk Madrasah dengan menggunakan pesawat tanpa awak (drone). Hal tersebut mengakibatkan tanaman pangan masyarakat mati dan petani Tebo kehilangan sumber pangan. Saat itu, petani sempat menghentikan tindakan perusahaan tersebut, namun tidak berhasil.
Menanggapi hal tersebut, pihak APP kemudian mengeluarkan statement melalui website mereka dengan menyebutkan bahwa penyemprotan herbisida menggunakan drone merupakan bagian dari praktik silvikultur reguler di perkebunannya sendiri dan tidak keluar dari batas konsesi mereka.
Ini bukan kali pertama terjadinya konflik antara PT WKS dan masyarakat di sana. Konflik antara PT WKS dan masyarakat telah terjadi sejak tahun 2007. Salah satu yang terparah terjadi di tahun 2015, dimana seorang petani bernama Indra Pelani dibunuh oleh sekelompok sekuriti PT WKS. Jasadnya ditemukan dalam kondisi penuh luka tusuk dan pukulan benda tumpul sejauh lebih kurang 8 KM dari pusat desa. Para sekuriti diadili dan dihukum, namun sepertinya WKS/APP tidak mengemban tanggungjawab hukum maupun sosial dalam pembunuhan Indra Pelani.
APP Tak Tepati Janji
Sejak 2013, APP telah berkomitmen melalui FCP untuk menghargai hak-hak masyarakat dengan mengimplementasikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC) serta menghindari ataupun menyelesaikan segala konflik social di seluruh rantai pasoknya. Namun, realita di lapangannya berbeda. Tujuh tahun berlalu, APP masih belum mampu memenuhi komitmennya. Woro Supartinah dari Environmental Paper Network menyebut dalam Mongabay Indonesia bahwa APP tak serius dengan komitmen FCP mereka.
APP mengklaim telah memetakan sengketa lahan dan menciptakan rencana kerja untuk menyelesaikan masing-masing sengketa. APP juga mengklaim bahwa di akhir 2018, 49% dari seluruh sengketa lahan telah diselesaikan dan telah menyelesaikan konflik sosial dengan desa-desa di dalam area konsesi. Tetapi, hasilnya belum dibagikan kepada publik.
90 koalisi NGO lingkungan dan HAM kemudian menerbitkan surat terbuka untuk para investor dan pelanggannya agar tidak lagi menjalin bisnis dengan APP, anak-anak perusahaannya dan pemasoknya hingga perbaikan radikal di sepanjang seluruh rantai produksinya terjadi.