Sumatra, Tenurial rights, Pulp & paper, What consumers can do, APP, dead elephants, dead tiger, gajah, harimau Sumatera, human-tiger, konflik, konsesi, satwaliar,
Produksi pulp and paper merupakan salah satu penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan gambut di Sumatera. Menurut perkiraan, APP dan APRIL sudah memusnahkan 2 juta hektar hutan di Propinsi Riau sejak pertengahan 1980-an, yang merupakan setengah dari hutan hujan tropis yang ada di Riau saat itu. produsen pulp dan kertas yang terkemuka di Indonesia tersebut dan anak perusahaannya sangat mengandalkan kayu rimba campuran (mixed tropical hardwood atau MTH) yang berasal dari kegiatan pembukaan hutan alam.
APP dan konglomerasi induknya, Grup Sinar Mas, dikritik karena merusak ekosistem hutan dan habitat penting bagi spesies yang terancam punah, menyingkirkan masyarakat lokal dari tanah adatnya, dan turut menyebabkan pemanasan global karena mengembangkan hutan tanaman di atas lahan gambut berkarbon tinggi. Para ahli mengatakan bahwa penebangan yang terus berlangsung ini menyebabkan hilangnya habitat satwa-satwa endemik Sumatera seperti harimau dan gajah.
Sunarto PhD, selaku Ekolog WWF Indonesia menyebutkan fungsi konsesi kehutanan, selain dari sisi bisnis dan untuk mendorong pemasukan negara, adalah juga untuk ekologi. “Kelestarian satwaliar, khususnya dari jenis-jenis langka dan dilindungi yang berada di wilayah konsesi merupakan bagian dari tujuan pengelolaan konsesi.”
Komitmen “zero deforestasi” yang digaungkan oleh APP pada tanggal 5 Februari 2013 tampaknya hanya janji semu. Dalam kurun 12 tahun terakhir, insiden antara satwa dan manusia di Provinsi Riau terus terjadi di dekat kawasan hutan yang ditebangi oleh APP. Analisis Eyes on the Forest, setidaknya 147 dari 242 kasus atau 60% dari seluruh konflik di Provinsi Riau terjadi di lansekap Senepis. APP melakukan ekspansi penebangan hutan alam di lima konsesi sejak 1999, tiga di antaranya belum memiliki izin definitif dari Departemen Kehutanan.
Tahun 2019-2020, konflik satwa-manusia kembali terulang. Mei 2019, terjadi konflik harimau Sumatra (panthera tigris sumatrae) dan manusia. Muhammad Amri, seorang pekerja bernama perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Riau Indo Agro Palma tewas diterkam harimau. Konsesi RIA milik Sinarmas Group ini berada dalam satu lanskap dengan kantong harimau di hutan gambut Suaka Margasatwa Kerumutan.
Dua bulan setelahnya, Agustus 2019, harimau kembali terkam manusia hingga tewas di konsesi PT Bhara Induk, izin HPH yang tampak tidak aktif. Kali ini Darmawan alias Nang warga Dusun 3 Desa Batu Ampar Kecamatan Sira Pulau Padang, Ogan Komering Ilir, Sumsel beru,sia 36 tahun menjadi korban keganasan harimau sumatera di Dusun Sinar Danau, Desa Tanjung Simpang kecamatan Pelangiran.
Bukan hanya konflik manusia dan harimau, gajah Sumatra (elephas maximus sumatranus) mati juga ditemukan membusuk di konsesi PT Arara Abadi milik grup APP pada November 2019 akibat perburuan. Lokasi kematian gajah sumatera tersebut berada pada kantong gajah Giam Siak Kecil-Balai Raja yang berdasarkan hasil survei dan monitoring, jumlah populasi gajah liar saat ini diperkirakan 40 ekor. Sebagian besar populasi berada di wilayah konsesi PT Arara Abadi yang merupakan konsesi hutan tanaman industri milik grup APP/Sinar Mas dengan jenis tanaman eucalyptus dan akasia.
Awal Februari lalu, kembali gajah Sumatra berumur sekitar 40 tahun mati di konsesi PT Arara Abadi, setelah bulan sebelumnya anak gajah juga terjerat nilon. Tahun lalu, di konsesi sama juga ada gajah mati.
Jika dikilasbalik ke belakang, kematian gajah maupun kena jerat di konsesi Arara Abadi hampir terjadi tiap tahun. Pada 2016, gajah betina umur 25 tahun mati dalam kubangan air juga di Distrik II Duri, Desa Tasik Serai yang saat itu masih dalam administrasi Kecamatan Pinggir, Bengkalis, Riau.
Dilansir dari harian Mongabay (Maret 2020), Forest Sustainability-HSE Head Sinarmas Grup Syarif Hidayat mengungkapkan bahwa sesuai prosedur perusahaan, tim konservasi Arara Abadi juga ada jadwal patroli gabungan kawasan lindung bersama sekuriti dan regu pemadam kebakaran (RPK). Ada petugas khusus mendata kegiatan konservasi tiap distrik, seperti penataan batas, pemasangan rambu-rambu dan survei vegetasi.
“Termasuk prosedur mitigasi konflik dan pengelolaan gajah. Model itu diadopsi dari praktik terbaik oleh pemerintah dan pengalaman teman-teman di lapangan,” kata Syarif.
Dilansir dari data FKGI tahun 2019, populasi gajah di Sumatera yang tersisa lebih kurang 928 – 1379 individu dan jumlah harimau sekitar 604 berdasarkan data PVA nasional 2018.
Febri Anggriawan Widodo, module leader riset harimau mengungkapkan kematian satwa di konsesi merupakan tanggung jawab otoritas dan pengelola, dalam hal ini UPT pemerintah dan pemegang izin konsesi sesuai dengan amanat perundangan yang berlaku.
“Mereka harus meningkatkan efektifitas pengawasan. Sisi mana yang masih bolong perlu ditingkatkan. Misalnya, frekuensi patroli yang dilakukan perusahaan kurang maka perlu ditingkatkan, coverage-nya rendah perlu ditingkatkan, kalau awareness-nya kurang maka perlu meningkatkan hal tersebut juga. Begitu pun dengan aktivitas-aktivitas pengelolaan maupun proteksi lainnya,” ungkapnya.