Motif ekonomi tidak menjerakan perusahaan pembakar

EoF News / 23 July 2020
Papan penetapan proses hukum oleh Bareskrim terhadap lahan milik PT Adei Plantation and Industry, di Kabupaten Pelalawan, Riau. Foto: Metro Pekanbaru

Silih berganti perusahaan pembakar hutan dan lahan disidang di pengadilan. Pekan ini, terdakwa PT Adei Plantation, Direktur Goh Keng EE, kembali menjalani sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Negeri Pelalawan Selasa (21/7), terkait dakwaan pembakaran pada September 2019.

Pada sidang sebelumnya (15/7), PT Adei Plantation didakwa dengan pasal unsur kesengajaan dan kedua dengan pasal kelalaian. Dalam dakwaan JPU, kebakaran di areal Hak Guna Usaha (HGU) PT Adei terjadi pada Sabtu tanggal 7 September tahun 2019 sekitar pukul 16.30 WIB. Api muncul dan membakar tanaman sawit PT Adei yang berada di Blok 34 Divisi ll Kebun Nilo Barat Desa Batang Nilo Kecil Kecamatan Pelalawan.

Kemudian, JPU Nophy Thennopero, juga mengungkapkan bahwa pada saat kebakaran kebun sawit PT Adei, perusahaan melakukan pemadaman hanya dengan alat seadanya berupa ember yang airnya diambil dari parit.

“PT Adei hanya memiliki delapan orang petugas Damkar dan itupun hanya dua orang yang memiliki sertifikasi. Kemudian tak memiliki embung 20x20x2 dan hanya memiliki sebuah menara pemantau. Setelah kebakaran baru dibangun dua menara pemantau,” ungkap Nophy, dikutip dari Riau Pagi.

Nophy menyebutkan dakwaan terhadap PT Adei merupakan dakwaan alternatif yakni pertama melanggar pasal 98 ayat 1 Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian pasal 99 ayat 1 Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam sidang lanjutan kemarin, pihak terdakwa yang diwakili oleh Penasihat Hukum Muhammad Sempakata Sitepu SH MH dengan tegas menolak seluruh isi dakwaan JPU tersebut.

“Kita menolak isi dakwaan JPU karena alat pemadam maupun upaya pencegahan Karhutla telah kita lakukan dengan maksimal. Buktinya lahan yang terbakar hanya 4,16 Hektar. Itulah bukti alat penanggulangan bahaya karhutla milik PT Adei sudah sesuai dengan aturan dan peraturan pemerintah” ungkapnya dalam Haluan Riau (21/7).

 

Perusahaan “nakal” masih membakar lahan

Meski telah divonis berkali-kali, PT Adei Plantation masih terus melakukan kegiatan karhutla, Seperti diketahui, PT Adei sebelumnya juga pernah diperkarakan terkait kasus Karhutla. Tepatnya pada tahun 2013, Polda Riau pernah menetapkan tersangka pembakaran lahan terhadap perusahaan yang berinduk pada Holding Company Kehpong Berhard Industry Kuala Lumpur, Malaysia itu.

Saat itu, walaupun tidak ada tersangka dari petinggi perusahaan yang dijatuhi hukuman pidana penjara, namun PT Adei divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA). PT Adei didenda Rp15 miliar untuk pemulihan lahan yang terbakar seluas sekitar 40 hektare.

Tak hanya PT Adei Plantation, perusahaan terkait dengan isu karhutla lainnya juga masih kerap  beroperasi di lahan gambut seperti PT Arara Abadi, PT Tesso Indah dan PT Sumatera Riang Lestari blok IV Pulau Rupat. Beberapa minggu lalu, titik api kembali terdeteksi di konsesi PT AA dan PT SRL.

Koordinator Jikalahari, Made Ali, menyebutkan bahwa motif ekonomi tidak menjerakan perusahaan-perusahaan tersebut untuk terus membakar. “Perusahaan masih membakar karena biayanya murah. Jika ditebang manual, membutuhkan biaya yang besar,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa lahan terbakar terjadi di lahan yang tidak produktif. “Lokasi terbakar karena tanamannya tidak produktif. PT Adei tahun 2019 terbakar seluas 4,16 hektar di atas lahan gambut. Begitu juga temuan di PT Arara Abadi, PT SRL, PT SSS dan PT Tesso Indah. Areal terbakar di atas lahan gambut.”

Koordinator Jikalahari ini pun menegaskan bahwa perusahaan “nakal” yang masih beroperasi harus dicabut izinnya dan diberikan penegakan hukum pidana agar benar-benar merasakan efek jera.