Kalimantan, Sumatra, Carbon stock, Pulp & paper, APP, Arara Abadi, corona, covid19, fire hotspots, hotspot, HTI, karhutla, pandemi, titik api, titik panas,
Di tengah perjuangan menghadapi pandemic virus corona, Indonesia khususnya Sumatera dan Kalimantan juga dihadapkan dengan ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla). 29 Juni 2020, titik api muncul di Riau. Kekuatiran akan bergabungnya bencana karhutla bersama dengan pandemi penyakit virus corona-19 (covid-19) semakin membuncah.
Dilansir dari situs Kompas.com, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pelalawan Hadi Penandio membenarkan adanya karhutla di wilayah kerjanya saat dikonfirmasi. "Itu kebakaran di perbatasan Desa Merbau, Kecamatan Bunut dengan Desa PangkalanTerap, Kecamatan Teluk Meranti," sebut Hadi kepada Kompas.com melalui sambungan telepon. Ia menambahkan bahwa lokasi kebakaran tidak jauh dari kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Arara Abadi, pemasok Asia Pulp & Paper (APP) / Sinar Mas Group.
Sementara Kapolsek Bunut AKP Rohani melalui sambungan selular di Pangkalan Kerinci, Senin (29/6/2020), membenarkan kebakaran terjadi di lahan PT Arara Abadi. "Benar, ada karhutla di lahan milik PT Arara Abadi. Lahannya itu baru saja selesai penanaman," ujarnya seperti dikutip Riaumandiri.id. Areal terbakar dipasang garis polisi. Penegakan hukum bagi perusahaan pembakar masih dikeluhkan aktivis lingkungan hidup karena belum menyentuh banyak pelaku korporasi.
Hadi Penandio mengatakan setelah ditinjau ke lapangan, titik api berada 300 meter dari konsesi. Pihak APP juga mengatakan api berasal dari luar lahan dan bersebelahan dengan tanaman kehidupan mereka. Humas PT Arara Abadi, Nurul Huda, membantah dan mengklarifikasi terkait karhutla yang terjadi di area PT Arara Abadi. Berdasarkan info dari tim patroli perusahaan di lapangan, pada Minggu (28/6/2020), pukul 10.20 WIB, api diperkirakan sekitar 200 meter dari luar area kawasan tanaman kehidupan yang merupakan hasil MoU (kerja sama) masyarakat dengan perusahaan.
Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), terdapat 41 titik panas per 29 Juni 2020, dengan level confidence di atas 50 persen. Titik panas terdeteksi di enam kabupaten. Titik panas terbanyak, yakni di Kabupaten Pelalawan 26 titik. Lalu, Kabupaten Kampar tujuh titik, Kota Dumai dua titik, Siak empat titik, Kuantan Singingi dan Indragiri Hilir masing-masing satu titik.
Analisis Eyes on the Forest berdasarkan hasil deteksi satelit NASA FIRM VIIRS (dengan level confidence nominal, setara dengan <80%) sejak 1 Januari hingga 28 Juni 2020, terdapat 237 indikasi titik panas (hotspot) di konsesi milik grup Royal Golden Eagle/Asia Pacific Resources International Limited (APRIL), 78 titik panas di konsesi milik APP/Sinar Mas dan 5 titik panas di konsesi PT Inhil Hutani Pratama, eks APP. Titik panas terbanyak diindikasikan berada di PT Sumatera Riang Lestari blok 5 dari APRIL/RGE, yakni sebanyak 162 titik.
Pelalawan mencatat jumlah titik panas tertinggi di Riau dengan 42, menurut data BPBD Riau. “Karhutla yang terjadi dapat dipadamkan dan tinggal pendinginan dari rekan-rekan satgas darat terdiri dari TNI, Polri, BPBD dan Manggala Agni. Dari hasil peninjauan ke lapangan untuk karhutla di Pangkalan Terap, saat ini sudah jauh berkurang,” jelas Edwar Sanger seperti dikutip Riaumandiri.id.
Karhutla dapat memperparah pandemi Covid-19
COVID-19 telah menyebar di provinsi-provinsi rawan karhutla –di pulau Sumatera dan Kalimantan-- dengan jumlah penduduk yang terkonfirmasi positif dan meninggal bervariasi. Beberapa di antaranya adalah Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Tengah dan Kaimantan Barat. Hingga 29 Juni 2020, jumlah kasus tertinggi berada di Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 2023 kasus, kemudian diikuti oleh Provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 881 kasus, Kalimantan Barat sebanyak 321 kasus, Riau sebanyak 226 kasus dan yang terendah Jambi 117 kasus.
Dilansir dari harian Republika, pakar epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan karhutla harus serius dicegah karena dapat menimbulkan beban ganda bagi masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Salah satu dampak nyata dari karhutla adalah meningkatnya penyakit tuberculosis (TB). Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di Pekanbaru, Riau, peningkatan indeks NO2 saat terjadi karhutla lebih berisiko untuk meningkatkan TB dibanding peningkatan material partikulat lebih kecil dari 10 mikron (PM10) dan SO2.
Dampak dari karhutla dan pandemi terhadap masyarakat sangat tinggi, sehingga memerlukan upaya antisipasi yang juga tinggi. Profesor Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, mengatakan pencegahan karhutla harus dilakukan sejak dini, tanpa menunggu musim kemarau tiba. Ia mencontohkan, pada 1 Januari dan 26 April lalu, kebakaran hutan dan lahan telah terjadi di Provinsi Riau. “Jangan berpikir karena COVID-19, orang berhenti bakar, tidak. Ia tetap menjalankan aksinya,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo mengatakan 99 persen karhutla terjadi akibat ulah manusia. Karhutla kerap terjadi sejumlah wilayah di Indonesia setiap tahunnya. "Kita tahu 99 persen karhutla karena ulah manusia baik disengaja maupun kelalaian," ujar Jokowi saat membuka rapat terbatas tentang 'Antisipasi Karhutla' di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (23/6).