09 August 2022 / EoF Investigative Report
Share on
Sumatra, Carbon stock, Biodiversity loss, Pulp & paper, APP, OKI mill, paper, pulp mill, sinar mas, South Sumatra,
Pada tanggal 23 Desember 2016, Asia Pulp & Paper mengumumkan telah memulai produksi di salah satu pabrik pulp dan tisu terbesar di dunia. Perusahaan tersebut tengah mempromosikan pabriknya di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan sebagai roda pembangunan ekonomi Indonesia dan menjamin terciptanya ribuan lapangan pekerjaan. Namun pabrik tersebut memiliki resiko besar bagi Indonesia dan lingkungan global: pasokan kayu untuk pabrik sebagian besar berasal dari lahan gambut yang dikeringkan; dimana merupakan sebuah sistem produksi yang menyebabkan tingginya emisi karbon dan bencana kebakaran.
Lebih dari tiga perempat konsesi hutan tanaman untuk pabrik tersebut terletak di lahan gambut, seluas 6000 kilometer persegi atau tujuh kali luasnya Singapura. Data ini berasal dari studi yang dirilis April tahun lalu oleh 12 CSO Indonesia dan internasional. Lahan gambut, saat dikeringkan untuk tanaman industri akan menjadi rawan terbakar dan melepaskan karbon dioksida dalam jumlah sangat besar. Seiring berjalannya waktu, gambut yang dikeringkan akan mengalami penurunan permukaan (subsiden) dan meningkatkan resiko banjir serta menurunkan produktivitas lahan secara signifikan.
Pabrik OKI telah berkontribusi pada bencana lingkungan dan krisis kesehatan publik, bahkan sebelum memulai kegiatan produksinya. Pengembangan di lahan gambut untuk industri kehutanan dan pertanian, termasuk pasokan untuk pabrik OKI, adalah penyebab utama terjadinya kebakaran dahsyat di Indonesia tahun 2015 yang lalu. Kebakaran ini menyebabkan kerugian ekonomi senilai $16 milyar (hanya untuk Indonesia) dan 43 juta jiwa terpapar asap tebal yang mengakibatkan ribuan orang mengalami gangguan saluran pernapasan. Kebakaran yang disebut The Guardian sebagai “bencana lingkungan terparah tahun ini” juga melepaskan 1.75 Gigaton karbon dioksida, melebihi total emisi tahunan Jerman atau Jepang.
Besarnya skala tragedi ini memicu upaya restorasi gambut di Indonesia. Pada Januari 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG) dengan instruksi untuk mengkordinasikan upaya pembasahan pada gambut bekas terbakar serta pada areal gambut prioritas lainnya. Desember tahun lalu Jokowi juga mengumumkan larangan pembukaan lahan gambut untuk penanaman baru meskipun telah memiliki ijin konsesi dan dilarang melakukan aktifitas penanaman di lahan bekas terbakar. Sebelumnya, pada COP 22 di Maroko, partisipan UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pun menjadikan restorasi gambut sebagai prioritas global. Fokus utama pada upaya global adalah memberi dukungan terhadap komitmen Indonesia untuk melindungi dan merestorasi hampir 13 juta hektar area gambut.
Upaya restorasi gambut ini memiliki implikasi serius terhadap pasokan kayu APP—tidak hanya pabrik OKI tetapi juga bagi dua pabrik besar terdahulunya di Sumatra. APP mengakui bahwa lebih dari 60% konsesi APP di Indonesia berada di area gambut; dan menurut analisis Eyes on the Forest yang akan segera terbit, 43% konsesi APP berada di wilayah gambut yang termasuk dalam program restorasi gambut pemerintah. Hal ini merupakan tantangan besar bagi strategi restorasi gambut Indonesia, demikian juga dengan upaya APP untuk mengamankan pasokan kayu jangka panjang bagi pabrik OKI dan dua pabrik terdahulunya.
“Pilihan pemerintah adalah apakah akan mengutamakan pasokan kayu bagi pabrik pulp APP, atau tetap memprioritaskan upaya pembasahan dan restorasi gambut?” tanya Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari dan anggota Eyes on the Forest. “Kami mendorong pemerintah untuk mengutamakan kepentingan yang lebih besar daripada menjamin keuntungan untuk salah satu keluarga terkaya di Indonesia. Restorasi gambut, dalam jangka panjang akan menjamin pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan hidup untuk masyarakat banyak,” kata Woro.
Jika APP terus melanjutkan penanaman di lahan gambut yang dikeringkan, perusahaan itu akan berhadapan dengan penurunan produktivitas seiring dengan menyusutnya permukaan gambut. Pada akhirnya kondisi ini berdampak pada berkurangnya pasokan serat kayu untuk pabrik APP di Sumatra dan/atau pada peningkatan biaya secara signifikan apabila grup tersebut membeli kayu dari luar Indonesia.
Menghadapi situasi demikian, APP justru mengambil tindakan setengah hati: salah satunya adalah dengan membuat program Pengelolaan Gambut Bertanggungjawab, namun sejauh ini hanya memulai merestorasi sedikit sekali dari area konsesinya di area gambut. APP juga telah mengambil langkah dalam meningkatkan manajemen hidrologis dari sistem drainase terdahulunya; yakni dengan konstruksi dam dikombinasikan dengan saluran air sedalam 50-70cm. Namun, langkah ini sepertinya tidak cukup untuk merestorasi ketinggian air yang dibutuhkan untuk menghentikan degradasi gambut dan ancaman kebakaran, dan juga takkan memenuhi ketinggian maksimum drainase yang diwajibkan, yaitu 40 cm.
Sayangnya, solusi parsial cenderung membuktikan tidak memadainya upaya APP dalam mencegah kebakaran dan menahan laju tingginya emisi karbon. “APP perlu menyadari gentingnya masalah ini dan harus segera menghentikan praktek-praktek drainase di lahan gambut untuk mengembangkan hutan tanaman,” kata Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International-Indonesia. “Hal ini harus dimulai dengan komitmen penghentian semua kegiatan HTI berbasis drainase di lahan gambut serta menyusun rencana yang kredibel untuk membasahi dan merestorasi area tersebut,” lanjutnya.
Rencana kredibel juga termasuk menciptakan daerah penyangga yang kokoh di sekitar area gambut alami yang tersisa; untuk menghindari kehilangan biodiversitas lebih jauh serta penyimpanan karbon. Selain itu, untuk memastikan pemanfaatan gambut yang berkelanjutan, rencana tersebut harus mencakup alternatif praktik pengembangan kehutanan terhadap lahan gambut yang dibasahi kembali. Praktik ini ditunjang dengan pemilihan spesies lokal yang disesuaikan dengan kondisi gambut yang basah.
Perilaku APP atas lahan gambut akan menentukan apakah perusahaan itu mampu memperbaiki reputasinya setelah beberapa dekade merusak lingkungan dan terlibat konflik dengan masyarakat lokal. “Pembeli pulp dan kertas semakin menaruh perhatian untuk menurunkan jejak karbonnya,” kata Lafcadio Cortesi dari Rainforest Action Network. “Oleh karena itu, membeli kertas yang berasal dari perkebunan di lahan gambut yang tidak berkelanjutan — dengan emisi sepuluh kali lebih besar dari produk kertas lainnya — jelas tidak masuk akal,” katanya.
Pernyataan ini dibuat bersama oleh Wetlands International, Eyes on the Forest (koalisi termasuk WWF Indonesia, Jikalahari, Walhi Riau, dan CSO lain di Sumatra dan Kalimantan), Rainforest Action Network, Hutan Kita Institute, Woods & Wayside International, dan Yayasan Auriga.