31 December 2022 / EoF Investigative Report
Share on
Kalimantan, Sumatra, Lack of governance, Tenurial rights, Carbon stock, Biodiversity loss, Pulp & paper, FLEGT, HPH, HTI, kalimantan, KAMH, kehutanan, Koalisi, legalitas kayu, LSM, PHPL, sertifikasi, SVLK, Uni Eropa, unit manajemen, verifikasi, VLK, VPA,
Indonesia adalah salah satu pengekspor produk kayu terbesar di dunia. Indonesia juga termasuk Negara kunci dengan isu pembalakan liar dan penggundulan hutan yang serius. Peningkatan tata kelola hutan dan penegakan hukum serta penghentian penggundulan hutan dan perusakkan hutan menjadi sangat penting untuk menjamin legalitas dan keberlangsungsan industri ini.
Indonesia dan Uni Eropa telah menandatangani Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) Kesepakatan Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreement – VPA) untuk mempastikan produk kayu Indonesia yang diproduksi, dipanen dan dikirimkan telah sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Indonesia membentuk Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) untuk : (1) menetapkan aturan dan perundang-undangan Negara yang diberlakukan pada sektor kehutanan, dan (2) membangun sistem untuk memverifikasi legalitas kayu ekspor Indonesia untuk Uni Eropa telah sesuai dengan peraturan ini. Begitu SVLK terbukti menyediakan jaminan yang kredibel untuk legalitasnya, produk bersertifikat “V-Legal” dapat memperoleh izin FLEGT dan secara otomatis bisa masuk di pasar Uni Eropa.
Tujuan utama dari studi ini untuk menyediakan pedoman bagi pemerintah Indonesia dan Uni Eropa yang akan membuat sertifikat SLVK berkekuatan dan sekredibel mungkin dan untuk memastikan tidak ada produk yang mengunakan kayu illegal di ekspor dari Indonesia berdasarkan sertifikat ini.
Mulai Agustus 2013, penulis laporan ini telah mendampingi penyusunan standarisasi untuk SVLK sejak awal dan mengevaluasi semua sertifikat yang dikeluarkan sampai akhir bulan dengan satu pertanyaan mendasar: Apakah sertifikat LK Indonesia menyediakan jaminan bagi Uni Eropa untuk legalitas produk? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis kembali mempelajari 183 perusahaan perkayuan yang telah mendapatkan sertifikat SVLK di seluruh Indonesia dan menggunakan analisa GIS untuk mengevaluasi operasional dan dampaknya di provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur.
Studi ini menemukan beberapa kelemahan sebagai berikut:
Sejak awal diberlakukan, standard SVLK berulangkali mengalami pelemahan.
Penerapan sertifikasi SVLK tidak sesuai dengan berbagai peraturan pemerintah
Penerapan sertifikasi SVLK tidak berkelanjutan.
Penerapan sertifikasi SVLK memungkinkan adanya sumber kayu ilegal dan atau kayu yang tidak berasal dari hutan lestari yang berasal dari perusahaan lain.
Perusahaan bersertifikat SVLK memiliki masalah serius soal legalitas dan kelestarian hutan dalam operasional mereka. Pengawasan independen terhadap proses sertifikasi SVLK tidak berjalan efektif.
Kesimpulan, sertifikasi SVLK/ sertifikat V-Legal tidak menjamin pengecualian produk kayu yang berasal dari: perizinan yang diperoleh melalui praktek korupsi, pembersihan area hutan alami milik penduduk asli, habitat satwa yang dilindungi, penurunan kadar air lahan gambut yang menyebabkan lepasnya mega ton emisi gas rumah kaca ke udara, dan atau daerah konsesi yang baru-baru ini terbakar. Sebagai tambahan, produk olahan bersertifikasi seperti bubuk kertas atau kertas bisa saja berasal dari sumber illegal dan atau operasional yang tidak lestari.