31 August 2023 / EoF Investigative Report
Share on
Sumatra, Carbon stock, Biodiversity loss, Palm oil, What companies can do, 43 Companies, Darmex, Duta Palma, Eyes on the Forest, illegal palm oil, Jikalahari, omnibus law, perusahaan perusak lingkungan, sawit ilegal, sinar mas group, UUCK, WALHI Riau, wilmar,
Kurun waktu Februari-November 2019, EoF melakukan pemantauan lapangan di lebih dari 5% kebun ilegal kebun sawit di Riau tanpa HGU di Kawasan Hutan dan APL (129,948 hektar) yang dikelola oleh 1 koperasi unit desa, 3 perseorangan (cukong) dan 39 perusahaan termasuk Adimulya, Astra, Darmex Agro, First Resources, Gama & Samsung, Hutahaean, Indofood, KLK, Pancaputra Ganda, Peputra Masterindo dan Provident Agro (Tabel 1 & 2). Dan 29 dari 43 unit pengelolaan ada di dalam dan di sekitar dua lansekap konservasi: Tesso Nilo dan Bukit Tigapuluh dengan taman nasional di masing-masing zona intinya, serta koridor harimau Bukit Batabuh. Di lokasi-lokasi ini pernah disorot dalam laporan-laporan EoF sebelumnya sebagai asal muasal rantai pasokan Tandan Buah Segar (TBS) ilegal dan CPO yang tercemar. 23 dari 43 entitas mengelola perkebunan ilegal memiliki pabrik kelapa sawit (PKS) mereka sendiri ataupun dari kelompoknya yang memproses TBS ilegal mereka (Tabel 3).
Dari 20 unit pengelolaan yang tidak memiliki PKS sendiri/grup, EoF memilih 16 unit untuk dilakukan rantai investigasi pengawalan guna menemukan pembeli tingkat hilir mereka. Investigasi EoF antara Mei dan November 2019 menemukan bahwa TBS ilegal dari unit-unit yang dibeli oleh 15 PKS mencakup grup-grup Darmex, First Resources, Incasi Raya, Jhagdra, Mitra Agung Sawita Sejati dan Royal Golden Eagle (Tabel 4). PKS itu juga termasuk 5 pelanggar berulang yang disorot Laporan EoF “Cukup Sudah” pada 2018. Pabrik First Resources (PT. Subur Arum Makmur 1 Senamanenek Mill) yang memiliki sertifikasi RSPO (Mass Balance Supply Chain Model) menunjukkan bahwa bagian konvensional tak bersertifikat dari produk Mass Balance pabrik mengandung TBS ilegal.
Antara Juli dan November 2019, EoF juga melacak truk-truk CPO milik 9 dari 15 PKS di atas dan menemukan bahwa CPO tercemar TBS ilegal telah dibeli oleh 6 pabrik penyulingan dari Darmex, First Resources, Musim Mas, Permata Hijau, Royal Golden Eagle dan Wilmar. Semuanya terkecuali penyulingan Darmex adalah anggota RSPO dan memiliki sertifikat-sertifikat RSPO Mass Balance, Segregated and Identity Preserved Supply Chain (Tabel 5).
Grup-grup ini dan pabrik kelapa sawit serta refinery (penyulingan) terdaftar dalam laporan ini adalah pemasok umumnya yang langsung atau tak langsung di antara daftar pemasok CPO yang dipublikasikan oleh banyak pedagang atau pemakai penting yang berkomitmen nol deforestasi. Pada 2020, dua tahun sejak kami terbitkan laporan pada 2018, “Cukup sudah!’’, dan tahun target biasa untuk mencapai nol deforestasi bagi semua merek, mayoritas pemasok kelapa sawit dunia justru terus dicemari oleh TBS yang ditanam secara ilegal di sejumlah habitat tersisa terakhir dari satwaliar yang dilindungi seperti harimau, gajah dan orang utan, serta lahan gambut kaya-karbon yang mudah terbakar di Sumatera.
Skala isu hukum yang dihadapi pembeli dan penjual global produk tercemar cukup besar, karena pabrik dan penyulingan yang memasok produk-produk tercemar ke dalam ekonomi global telah mengetahui isu legalitas sistemik sejak dari dulu. Sudah diketahui, mereka telah gagal mengatasi isu yang mencoba menghindari investasi yang diperlukan untuk membersihkan sistem. Bahkan saat ini, dan terlepas dari penguatan dashboard dan laporan kelestarian tahunan, mayoritas pabrik dan penyulingan tidak melacak asal-muasal produk mereka menuju perkebunan pihak ketiga. Walaupun mereka memahami inilah satu-satunya cara untuk mengidentifikasi dan menolak TBS ilegal dan produk tercemar.
Membiarkan pengelolaan dan perdagangan kebun sawit ilegal dan tak lestari mengakibatkan kerugian besar bagi Negara dalam hal kehilangan penghasilan pajak. Provinsi Riau sendiri diperkirakan kehilangan pendapatan pajak potensial sebesar Rp107 triliun (7,3 milyar dollar AS) per tahun dari 1,4 juta hektar kebun sawit tak berizin dan ilegal. Bagaimana pula nilainya bertambah jika kita pertimbangkan semua kerugian lingkungan dan sosial yang diakibatkan oleh industrinya?
14 April 2016, Presiden berkomitmen melakukan moratorium penerbitan izin kebun sawit dan tambang batubara. Dua tahun berikutnya, Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Pelaksanaan yang berhasil pada moratorium ekspansi kebun sawit berdasarkan Inpres No 8/2018 akan menjadi cahaya di ujung lorong guna mengatasi ilegalitas meluas di sektor ini, melindungi dan merestorasi ekosistem dan lingkungan, mengurangi kebakaran tahunan, kabut asap regional dan emis gas rumah kaca yang sangat tinggi.
Bagaimanapun, dua tahun setelah penerbitan Inpres Moratorium 2018, Omnibus Law yang kontroversial diterbitkan pada 2 November 2020 melalui UU Nomor 11 tahun 2020 soal Cipta Kerja (UUCK). UUCK agaknya digambarkan sebagai satu cara untuk melegalkan perkebunan ilegal yang dikelola oleh entitas bisnis atapun smallholder. Bagaimanapun, berdasarkan analisis hukum, EoF berpendapat bahwa UU Cipta Kerja tak bisa dilihat serta merta sebagai “tiket untuk keluar dari penjara” bagi semua perkebunan sawit ilegal. Mempertimbangkan resiko-resiko lingkungan dan hukum yang serius dan diketahui, EoF merekomendasikan para pembeli global untuk fokus membuat kemajuan dalam menerapkan kebijakan-kebijakan NDPE (Dilarang deforestasi dan eksploitasi gambut) dengan melacak asal muasal produk minyak sawit di perkebunan dan menjauhi perkebunan ilegal segera, daripada hanya menunggu dan berharap bahwa undang-undang baru akan melegalkan asal-usul bahan terlarang mereka. Sebagaimana analis kami menunjukkan banyak di antaranya yang tidak layak dan bahkan mereka akan harus membayar biaya sangat besar serta menjalani proses sulit.
EoF juga berharap laporan ini memberikan input berguna untuk pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit 2018, sehingga semua Kementerian/Lembaga terkait mampu menegakkan hukum terhadap perusahaan/perseorangan yang mengelola perkebunan ilegal dan menjual produk ilegal. Masih banyak kerja yang harus dilakukan Pemerintah guna menegakkan UU Cipta Kerja dan peraturan-peraturan khususnya dalam menangani perkebunan ilegal demi melindungi hutan alam tersisa dan Kawasan konservasi selamanya. Kesimpulan kunci kami dan rekomendasi khusus termaktub dalam bagian Kesimpulan & Rekomendasi