Perusahaan HTI beroperasi dalam kawasan hutan melalui ‘legalisasi’ perubahan fungsi kawasan hutan

EoF Investigative Report / 01 April 2018

Tidak hanya dianggap menguntungkan banyak perusahaan kelapa sawit, dengan terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014, Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas 1.638.249 Hektar, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan seluas 717.543 hektar dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas 11.552 hektar di Provinsi Riau.  Begitulah,  perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) ikut menikmati beroperasi di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang diubah menjadi Hutan Produksi tetap (HP) dengan upaya “legalisasi” yang patut dipertanyakan dari aspek legalitasnya maupun etika bisnis yang menjunjung komitmen kelestarian.

Dari 717.543 hektar perubahan fungsi kawasan hutan, terdapat 424.041 hektar perubahan fungsi kawasan hutan dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi Hutan Produksi tetap (HP). Jumlah perubahan kawasan hutan HPT menjadi HP adalah jumlah terbesar atau lebih dari 50% dari total perubahan fungsi kawasan hutan dan patut dipertanyakan landasannya. Eyes on the Forest mengindikasikan HPT tersebut ketika diberikan perizinan HTI memiliki potensi kayu alam sebagai bahan baku bagi industri pulp dan kertas. Perubahan HPT menjadi HP jelas melanggar beberapa peraturan di Indonesia yang menyatakan bahwa izin HTI hanya dapat diberikan pada Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP).  

Ditemukan 29 perizinan HTI seluas lebih kurang 340.707.95 hektar yang diindikasikan mengalami perubahan fungsi kawasan hutan dari HPT menjadi HP milik grup Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) ataupun Asia Pulp & Paper (APP/Sinar Mas Group).