Sumatra, Carbon stock, Biodiversity loss, Pulp & paper, Palm oil, kawasan hutan, kebun sawit, omnibus law, sawit ilegal, UUCK,
PEKANBARU, 1 September 2022 – Koalisi Eyes on the Forest mendukung penyelesaian kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan melalui UU Cipta Kerja dengan mengusung asas berkeadilan dan transparan, sehingga tidak ada pihak mengklaim adanya pengampunan bagi korporasi sawit seperti dilansir dalam berbagai laporan media pekan lalu.
“Pembayaran denda yang proporsional berdasarkan durasi, luas lahan dan Tarif Denda Tutupan Hutan ketika kebun sawit yang secara ilegal digunakan korporasi di kawasan hutan merupakan pengembalian uang negara yang dirampok korporasi,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari. “Tidak selamanya hukuman pidana dianggap solusi, jika kekayaan negara dan ekosistem hutan tidak bisa dikembalikan dari praktek bisnis ilegal yang sebagian besar sudah berjalan belasan hingga puluhan tahun.”
Laporan investigasi spatial dan verifikasi lapangan dipublikasikan EoF tahun 2021 menguak 43 kebun sawit –sebagai sampel dari indikasi jumlah lebih besar—di Riau berada dalam kawasan hutan dimana korporasi menikmati keuntungan tanpa membayar pajak belasan tahun lamanya atau lebih.
Lebih jauh, temuan Pansus Monitoring Perizinan Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan DPRD Riau tahun 2016, 378 perusahaan sawit yang dominan beroperasi di dalam kawasan hutan di atas areal 1,8 juta hektar, dimana potensi pajak yang tidak dibayarkan mereka mencapai Rp 19,6 triliun per tahun berupa kebun sekitar 9,4 triliun dan pabrik kelapa sawit mencapai lebih dari 10,2 triliun .
Investigasi lapangan EoF 2019 itu merupakan pemantauan di lebih dari 5% kebun sawit ilegal di Riau tanpa HGU di Kawasan Hutan dan APL (129.948 hektar) yang dikelola oleh 1 koperasi unit desa, 3 perseorangan (cukong) dan 39 perusahaan. “Dalam pemantauan EoF, mayoritas perkebunan sawit ilegal melakukan konversi hutan alam untuk sawit sejak 10-25 tahun silam menunjukkan kronisnya masalah ini, masifnya kerugian negara dan pelanggaran ini tak tertangani selama belasan tahun lebih,” ujar Nursamsu, Koordinator EoF.
EoF menilai banyak perkebunan sawit ilegal yang tidak layak mendapat “kartu bebas dari penjara” dan bahkan mereka pantas menjalani sejumlah proses sulit dan membayar biaya mahal atas pelanggaran yang mereka lakukan di masa silam.
“Pengampunan bagi kebun sawit ilegal ibarat fatamorgana dan cenderung menyesatkan,” ujar Made Ali. “Koalisi EoF sudah memperingatkan tahun silam, berdasarkan kajian implikasi hukum dari UUCK dan peraturan pemerintah secara detil, para pebisnis sawit tidak seharusnya berharap UU Cipta Kerja akan secara otomatis melegalkan semua kebun sawit yang bermasalah.”
Dalam kajian terkait sawit ilegal dalam Kawasan hutan, EoF juga menyimpulkan tidak semua kebun sawit ilegal yang sudah terbangun sebelum berlakunya UU Cipta Kerja berada di luar Kawasan Hutan akan dilegalkan oleh UUCK. Selain itu, Hutan Lindung dan/atau Kawasan Hutan Konservasi harus dikembalikan areanya kepada Negara, dimana waktu pengembalian seharusnya dinyatakan dalam pemberitahuan pada Sanksi Administratif. Koalisi mendukung KLHK mengembalikan kawasan hutan lindung dan konservasi yang dijadikan kebun sawit untuk direstorasi menuju ekosistem semula.
“Penanganan sengketa sawit yang rentan dengan gejolak sosial kemungkinan menjadi pertimbangan kenapa untuk petani sawit mandiri dengan maksimal luas lima hektar dan pengelolaan lima tahun dikecualikan dari sanksi administratif,” ujar Nursamsu. Menghindari eksploitasi kepentingan masyarakat atas nama alibi korporasi yang memicu konflik horizontal antar sesama masyarakat dimana korporasi di balik konflik sosial ini, perlu diwaspadai semua pihak. Hal ini menjadi kecenderungan di beberapa tempat, dan masyarakat perlu dilindungi dari eksploitasi ini.
“Betapapun, para pemain besar sawit termasuk cukong, jangan sampai memanfaatkan peluang ini dengan berkedok sebagai koperasi ataupun berlindung atas nama masyarakat tempatan,” tambahnya.
Dalam rapat dengar pendapat di Komisi IV DPR-RI, Juni lalu, anggota koalisi menampilkan analisis dan rekomendasi terkait laporan sawit ilegal di 43 kebun di Riau. “Adanya perusahaan bermodal berkamuflase menjadi koperasi tani untuk mengelakkan proses hukum, tentu menggelikan dan perlu tindakan tegas dari penegak hukum,” ujar Nursamsu. DPR RI juga jangan hanya memanfaatkan situasi sawit dalam kawasan hutan, justru menguntungkan korporasi dan cukong yang selama ini tidak bayar pajak.
Koalisi mendukung KLHK untuk tidak terpengaruh dengan manuver pemain sawit yang menginginkan pengampunan dalam penyelesaian sawit ilegal dalam Kawasan. Pemerintah diharapkan dapat melibatkan masyarakat sipil dalam membantu pendataan dan pemantauan proses penyelesaian sawit dalam kawasan, termasuk pengembalian hutan lindung dan area konservasi,” kata Nursamsu.
“Yang penting partisipasi bermakna benar-benar dimaknai oleh pemerintah bahwa pendapat publik didengarkan, dipertimbangkan dan pemerintah memberikan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan,” kata Made Ali.
Narahubung:
Made Ali 0812 75311009
Afdhal Mahyuddin 0813 89768248
Unduh Siaran Pers EoF korporasi sawit ilegal didenda 01Sep2022