Konflik antara manusia dan harimau di Riau terkait dengan 12 tahun operasi penebangan hutan oleh APP/Sinar Mas

EoF Press Release / 18 March 2009

Untuk disiarkan segera, 17    Maret 2009

Pekanbaru – Kebanyakan insiden konflik antara manusia dan harimau di Provinsi Riau dalam kurun 12 tahun terakhir telah terjadi di dekat kawasan hutan yang ditebangi oleh perusahaan-perusahaan kelompok raksasa pabrik kertas Asia Pulp and Paper (APP)/Sinar Mas Group (SMG), demikian menurut analisa data konflik manusia-harimau.

Sejak 1997 di Provinsi Riau saja, 55 orang dan 15 ekor harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) telah terbunuh akibat konflik, demikian menurut Eyes on the Forest, sebuah koalisi LSM yang melakukan investigasi kejahatan kehutanan dan konflik di provinsi bagian tengah Sumatera tersebut. Tercatat juga 17 harimau telah ditangkap dan dipindahkan dari hutan habitatnya.

Sumatera memiliki sejumlah hutan dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi di dunia, dimana luas hutan di Sumatera sejak 1985 hingga 2007 telah berkurang hingga hampir setengahnya (48 persen). “Dengan  hilangnya habitat hutan, harimau tak memiliki tempat untuk mencari makan dan bersembunyi. Dalam sebulan terakhir saja, empat ekor harimau mati terbunuh di Riau,” kata Ian Kosasih, Direktur Program Kehutanan dari WWF-Indonesia. “Saat ini terdapat kurang dari 400 ekor harimau Sumatera saja yang hidup di alam dan itu artinya setiap harimau yang mati merupakan kehilangan yang sangat signifikan bagi bertahannya populasi atwa langka tersebut.”

Dengan memetakan lokasi-lokasi konflik harimau dan manusia lalu menyatukannya dengan peta konsesi perkebunan tanaman industri, Eyes on the Forest menemukan korelasi langsung antara konflik harimau dan praktek kehutanan yang tidak berkelanjutan oleh perusahaan-perusahaan kelompokAPP/Sinar Mas yang mensuplai bahan baku bagi produksi kertas dan bubur kertas APP. Setidaknya 147 dari 242 kasus atau 60% dari seluruh konflik di Propinsi Riau telah terjadi di lansekap Senepis, dimana APP melakukan ekspansi penebangan hutan alam di lima konsesi khususnya sejak 1999, dimana tiga di antaranya belum memiliki izin definitif dari Departemen Kehutanan.

“Dari segi hukum kegiatan APP/Sinar Mas di Senepis bisa dipertanyakan  legalitasnya sedangkan dari segi lingkungan kegiatan mereka sangat stidak bertanggungjawab,” ujar Johnny Setiawan Mundung dari Walhi Riau. “APP telah membuat pernyataan publik yang menggelikan, bahwa mereka sedang memimpin sebuah inisiatif konservasi harimau di kawasan Senepis, padahal kenyataannya mereka justru membahayakan keamanan masyarakat setempatdan mendorong harimau semakin dekat menuju kepunahan. APP menghancurkan hutan-hutan dan satwaliar.”

Kawasan yang ditebangi sekitar hutan Kerumutan telah menjadi titik panas (hotspot) baru bagi konflik harimau, tahun ini saja empat ekor harimau mati terbunuh dalam tiga insiden terpisah di kawasan tersebut. Sebagian besar dari hutan gambut dalam ini izinnya  sudah dimiliki oleh kelompok perusahaan milik APP/Sinar Mas dan di sejumlah lokasi sudah mulai ditebangi dalam beberapa tahun ini. Eyes on the Forest meyakini praktek penebangan tersebut dipertanyakan legalitasnya. Sejak 2007, Kepolisian Daerah Riau dan Polri telah menyidik 14 perusahaan-perusahaan sebagai bagian kasus pembalakan liar yang luas. Separuh dari jumlah itu adalah perusahaan tergabung dengan APP/SMG, termasuk satu konsesi di Kerumutan, PT Bina Duta Laksana, dimana terjadi konflik manusia-harimau pada Februari 2009. Namun demikian, penyidikan kasus pembalakan liar dihentikan pada Desember 2008, kecuali terhadap satu kasus dari kelompok APP, PT Ruas Utama Jaya, dengan konsesi yang berlokasi di Senepis.

“Polda Riau seharusnya melanjutkan penyidikan terhadap kegiatan ekspansi hutan alam yang berdampak pada pengrusakan lingkungan termasuk aktivitas APP/Sinar Mas sehingga ada kepastian hukum dan keselamatan warga atas hak lingkungan dan sosial yang lebih baik di Riau sekarang,” ujar Susanto Kurniawan, koordinator Jikalahari yang baru terpilih kembali. Pada Februari tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertekad memulai lagi penyidikan kasus-kasus 13 perusahaan dan Komisi Hukum (III) Dewan Perwakilan Rakyat mendukung langkah ini.APP bertanggungjawab terhadap sejumlah besar penebangan hutan di Sumatera melebihi  perusahaan-perusahaan lainnya. Sejak ia mulai beroperasi pada  kurun 1980-an, APP diperkirakan telah membuka lebih dari 1 juta hektar hutan alam di provinsi Riau dan Jambi. Saat ini, beberapa LSM merasa prihatin dengan keterlibatan APP/SMG dalam penghancuran hutan di blok-blok Senepis, Kerumutan, Semenanjung Kampar dan Bukit Tigapuluh di dua provinsi tersebut. Eyes on the Forest menyerukan kepada APP dan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Sinar Mas Grup untuksegera menghentikan pembukaan hutan.

Selain merupakan habitat penting bagi harimau Sumatera, Senepis, Kerumutan, Semenanjung Kampar dan hutan gambut lainnya di Riau juga merupakan cadangan karbon global. Dengan adanya lahan gambut yang sangat dalam dan kaya karbon , maka hanya dengan meneebang pohonnya atau merusak lahan tanahnya saja akan  menimbulkan emisi karbon yang cukup signifikan sehingga berdampak bagi perubahan iklim global. Dari hilangnya habitat hutan alam di Riau sejak 1982 hingga 2007 di Riau, 24 persennya telah dibuka atau digantikan oleh hutan tanaman kayu pulp dan 29 persen lagi dibuka atau digantikan oleh perkebunan kelapa sawit.

###

CATATAN BAGI REDAKSI:

Eyes on the Forest adalah koalisi terdiri dari WWF-Indonesia, Jikalahari dan Walhi Riau. Foto-foto dan peta  untuk  penerbitan  ini  tersedia  di   www.EyesontheForest.or.id  atau  hubungi  EoF  Editor,  Afdhal Mahyuddin di afdhalmy@yahoo.co.uk

Ada banyak laporan tentang APP yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia di provinsi Riau  dan  Jambi,  seperti  dugaan  menyerobot lahan  yang  oleh masyarakat  asli  dan  diyakini sebagai  tanah  ulayat  mereka,  mengintimidasi  penduduk  kampung,  dan melarang  penduduk memasuki kawasan umum mereka . Pada   Desember 2008, sebuah perusahaan afiliasi APP menghancurkan ratusan rumah di satu desa yang menjadi lahan sengketa dengan perusahaan. Setidaknya,  seorang  anak  meninggal  akibat  tak  langsung  dalam  insiden  itu,  rumah-rumah dibakari dan para penduduk  kampung ditangkap dan disidang,  demikian menurut kesaksian berita serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Lihat Siaran Pers Amnesty International     pada     23     Desember     2008:     http://www.amnesty.org/en/for-media/press- releases/indonesia-investigate-forcible-destruction-homes-police-riau-20081223

APP adalah salah satu perusahaan terbesar bubur kertas dan kertas di dunia maupun yang terbesar di Indonesia, dengan kapasitas gabungan tahunan untuk pulp, packaging dan konversi lebih dari 15 juta ton per tahun. Produk pasaran perusahaan (termasuk kertas fotokopi, tisu toilet, kertas percetakan, tas belanja, stationery dan paper cup stock) dijual di lebih dari 65 negara dan mengumpulkan penjualan lebih dari 3,2 juta dolar AS pada  2005. APP adalah bagian dari Sinar Mas Group, yang dimiliki oleh keluarga Widjaja, yang mencakup perusahaan-perusahaan bubur kertas dan kertas terintegrasi secara vertikal (termasuk penebangan hutan alam, pengembangan perkebunan, pembuatan pulp dan kertas, serta penjualan) serta perusahaan-perusahaan sawit. APP beroperasi terutama di Indonesia dan China.

Untuk informasi lebih lanjut sila hubungi:

- Afdhal Mahyuddin, EoF Editor, hp: 0813 8976 8248
- Johny Setiawan Mundung, WALHI Riau; hp: 0812 753 01775/0812 765 2754
- Susanto Kurniawan, koordinator Jikalahari;  mobile ph: 0812 7631775
- Nursamsu, WWF Indonesia, di Riau; hp: 0812 7537 317