Kalimantan, Sumatra, Carbon stock, Biodiversity loss, Pulp & paper, Darmex, Duta Palma, Duta Palma Group, HGU, ilegal, kawasan hutan, kebun, korupsi, KPK, pajak, pelanggaran, sawit,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong Pemerintah Provinsi Riau untuk segera menertibkan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tidak memiliki izin dalam menguasai tanah dan hutan di Riau.
Dilansir dari media Tempo.co (2 Mei 2019), Wakil Pimpinan KPK, Alexander Marwata, mengungkapkan setidaknya terdapat 1 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit di Riau tidak memiliki izin. "Dari catatan kami ada satu juta hektar lebih tanah dan hutan di Riau dikuasai oleh masyarakat, paling besar itu dilakukan oleh perusahaan tanpa izin.”
Alexander menambahkan, banyak dari perusahaan tersebut yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Artinya, tidak ada pajak yang dibayarkan oleh perusahaan kepada negara selama beroperasi menguasai hutan.
"Bayangkan, mereka sudah mengeruk kekayaan bumi kita yang mestinya untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi dinikmati sendiri, dan mereka tidak bayar pajak," kata dia.
Sementara itu, penetapan PT Palma Satu, Suheri Tirta (Legal Manager PT Duta Palma Grup tahun 2014) dan Surya Darmadi (Pemilik Darmex Grup) sebagai tersangka tindak pidana korupsi perkebunan sawit oleh KPK diapresiasi oleh sejumlah LSM lingkungan di Riau.
Setelah pernyataan Alexander Marwata, sebelumnya Pansus Monitoring Perizinan Lahan Perkebunan di DPRD Riau menemukan terdapat puluhan ribu hektar hutan yang digarap secara ilegal dalam kawasan hutan oleh 33 perusahaan perkebunan sawit. Selain itu ditemukan pula perusahaan yang membuka areal kebun di luar batas Hak Guna Usaha (HGU).
Pansus menghitung, dari potensi pajak perkebunan sawit di Provinsi Riau yang mencapai Rp 24 triliun, baru Rp 9 triliun yang mengalir ke kas negara.
PT Duta Palma Satu, korporasi sawit ditetapkan sebagai tersangka
Sementara, penetapan PT Palma Satu, Suheri Tirta (Legal Manager PT Duta Palma Grup tahun 2014) dan Surya Darmadi (Pemilik Darmex Grup) sebagai tersangka tindak pidana korupsi perkebunan sawit oleh KPK diapresiasi oleh sejumlah LSM lingkungan di Riau.
Pasalnya, kasus ini telah bergulir lama, sejak ditetapkannya Annas Maamun (mantan Gubernur Riau), Gulat Manurung dan Edison Marudut sebagai tersangka pada tahun 2014 silam. Saat itu Surya Darmadi memang telah didakwa namun dakwaan tersebut tidak terbukti di Pengadilan Negeri Tipikor Bandung. Sedangkan tiga nama pertama sudah menjalani hukuman sejak kasus diputus oleh pengadilan Tipikor.
Menyusul Annas Maamun, kini Surya Darmadi dan Suheri Terta telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga bersama-sama mengurus perizinan lahan perkebunan milik PT Duta Palma Grup sebagai korporasi yang telah memberikan uang Rp 3 miliar ke Annas Maamun terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Riau.
"Hari ini, 29 April 2019, KPK menyampaikan hasil Penyelidikan dilakukan terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi melibatkan perorangan dan korporasi, berupa dugaan pemberian hadiah atau janji terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau kepada Kementerian Kehutanan Tahun 2014," Ungkap Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Eyes on the Forest pada November 2017 dan diterbitkan April 2018, ditemukan 10 perusahaan yang diindikasikan berada pada kawasan hutan. Enam perkebunan di antaranya merupakan perusahaan yang bergabung dengan grup Darmex (afiliasi PT. Duta Palma dan grup). Diperkirakan luas 10 perusahaan yang teridentifikasi sekitar 73.047 hektar dan hanya memiliki HGU sekitar 40.005 hektar. Ironisnya, izin HGU tersebut ada yang berada pada kawasan hutan.
Atas perbuatannya, PT Palma Satu disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tipikor.
Sedangkan Suheri Terta dan Surya Darmadi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP.