Maraknya kebun sawit ilegal jadi pintu masuk pemberantasan korupsi yang tuntas di Riau

EoF Press Release / 06 December 2016

PEKANBARU –  Koalisi Eyes on the Forest menerbitkan laporan analisis dan investigatif terhadap 26 lokasi kebun sawit di Provinsi Riau yang merupakan bagian kecil dari 1,6 juta hektar kawasan hutan yang diubah menjadi kawasan bukan hutan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus 2014, Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan.

Terungkap, sebagian besar kebun sawit tidak memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan namun tetap beroperasi hingga sekarang, sehingga patut diduga praktek korupsi masif telah terjadi dengan cara perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi kawasan bukan hutan.

“Kami mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas skandal perubahan kawasan hutan seluas 1,6 juta hektar ini,” ujar  Woro Supartinah, koordinator Jikalahari, salah satu anggota koalisi Eyes on the Forest (EoF). “Jangan hanya terhenti pada kasus gubernur Anas Maamun dan kawan-kawan, karena masih banyak pelaku yang diduga masih bebas bergentayangan, baik itu pejabat Negara maupun korporasi.”

EoF melakukan telaah dan investigasi lapangan di 26.611 hektar Hutan Produksi Terbatas (HPT),  16.548 hektar Hutan Produksi (HP)  dan 57.634 hektar Hutan Produksi Dikonversi (HPK). Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional tahun 2016 status lahan yang ditelaah EoF secara izin adalah 18.754 hektar Hak Guna Usaha (HGU) dan 82.039 hektar untuk Bukan HGU. Analisa terhadap lahan yang dipertanyakan legalitasnya seluas 100.093 hektar (0,06 persen) dari total 1.638.249 hektar.

Temuan EoF menunjukkan mayoritas kebun sawit yang dianalisis belum diberikan izin Pelepasan Kawasan untuk perkebunan oleh Kementerian Kehutanan hingga tahun 2015. Mereka tidak termasuk dalam Data Progres Pelepasan Kawasan hutan ke Perkebunan 2015 atau Data Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk Perkebunan, Berdasarkan Buku Basis Data Spasial Kehutanan 2015.  

“Luar biasa melihat bagaimana temuan oleh Pansus HTI/Sawit/Tambang DPRD Riau di mana ratusan perusahaan membabat hutan alam dan mengonversinya menjadi sawit, lalu memiliki izin bodong, tetap beroperasi hingga sekarang, tanpa adanya penegakan hukum,” ujar Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif WALHI Riau, anggota koalisi. “Ini tak bisa dibiarkan, kami minta Kementerian Lingkuhan Hidup dan Kehutanan mengusut praktek korup ini, dan membatalkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus 2004, Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan.”

Koalisi juga mendesak KLHK melakukan penyidikan dan penindakan terhadap perusahaan sawit yang telah mengembangkan kebun sawit pada kawasan hutan sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014, Tentang Kawasan Hutan di Propinsi Riau. Selain itu, mendesak BPN Provinsi Riau untuk melakukan evaluasi terhadap HGU yang telah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten di kawasan hutan.

Laporan EoF dengan merujuk pada temuan Koalisi Rakyat Riau bersama Pansus Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, IU-Perkebunan, IUPHHK-HT, IUPHHK-HA, IUPHHK-RE, IUPHHBK, dan HTR DPRD Riau menemukan nama-nama besar korporasi sawit global yang terlibat dalam dugaan kongkalikong sulap izin tata ruang ini, seperti Wilmar, First Resources, Golden Agri-Resources, Sarimas, Panca Eka dan Bumitama Gunajaya Agro.

“Korporasi sawit dengan operasi global telah memberikan komitmen kelestarian maupun ketelusuran rantai pasok dari sumber yang lestari, namun melihat kenyataan dari laporan ini, perlu klarifikasi dan ketegasan mereka, sehingga para konsumen dan pembeli tidak merasa dibohongi dengan komitmen berulang tersebut,” ujar Nursamsu, Koordinator EoF dari WWF-Indonesia.

Dalam UU 18 tahun 2013 Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan HutanPasal 93 disebutkan: Korporasi yang membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

###

*Laporan EoF berjudul ‘Legalisasi’ perusahaan sawit melalui Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan di Provinsi Riau bisa diunduh di:

No

Perusahan sawit yang dianalisa

Grup/afiliasi

 
 

1

Agro Abadi

Panca Eka

 

2

PT Meskom Agro Sarimas

Sarimas

 

3

PT Torusganda

   

4

PT Riau Agung Karya Abadi

   

5

PT Peputra Supra Jaya

Peputra Masterindo

 

6

PT Arindo Tri Sejahtera

First Resources

 

7

PT Damara Abadi

   

8

PT Jalur Pusaka Sakti Kumala

   

9

PT Kampar Palma Utama

Panca Eka

 

10

PT Perdana Inti Sawit Perkasa

First Resources

 

11

PT Sawit Unggul Prima Plantation

   

12

PT Wasundari Indah 

   

13

PT Yutani Suadiri

   

14

PT Masuba Citra Mandiri

Bumitama Gunajaya Agro

 

15

PT Kinabalu

   

16

PT Percohu  Permai

   

17

PT Pesawoan Raya

   

18

PT Sinar Reksa Kencana

   

19

PT Bumi Sawit Perkasa

   

20

PT Sinar Siak Dian Permai

Wilmar

 

21

PT Surya Agrolika Reksa

Adimulya

 

22

Koperasi Air Kehidupan

Aek Natio

 

23

PT Wanasari Nusantara/KUD Tupan Tri Bhakti

   

24

PT Tri Bhakti Sarimas/KUD Prima Sehati

Sarimas

 

25

PT Ramajaya Pramukti

Golden Agri-Resources

 

26

Koperasi Dubalang Jaya Mandiri

   

 

     

--Untuk narahubung sila kontak:

Made Ali    ph: 0813 7805 6547

Riko Kurniawan  ph:  0813 7130 2269

Nursamsu    ph:  0811 7582 217

Laporan EoF Des 2016 Legalisasi sawit melalui perubahan peruntukan kawasan hutan

About Eyes on the Forest

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat. Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis autem vel eum iriure dolor in hendrerit in vulputate velit esse molestie consequat, vel illum dolore eu feugiat nulla facilisis at vero eros et accumsan et iusto odio dignissim qui blandit praesent luptatum zzril delenit augue duis dolore te feugait nulla facilisi. Nam liber tempor cum soluta nobis eleifend option congue nihil imperdiet doming id quod mazim placerat facer possim assum.